Berbicara terkait perspektif Islam, kali ini Hala Ugama akan membahas terkait valas. Jadi, Apakah valas itu? Valas merupakan istilah singkat dari valuta asing atau mata uang asing. Valas dalam dunia konvensional mungkin sudah tidak asing lagi, namun valas dalam perekonomian Islam menimbulkan berbagai pandangan terhadap pelaksanaannya. Islam Mengenal valas dengan istilah al-Sharf.
Al-Sharf dalam perekonomian Islam sudah mengalami banyak sekali perkembangan. Hal ini perlu dilakukan demi kemajuan perekonomian Islam dalam mengikuti arus perkembangan zaman yang dinamis. Dengan demikian, sebagai pemuda muslim kita perlu mempelajari terkait bagaimana Islam menilai jual beli al-Sharf.
Al-Sharf dapat diartikan tambahan. Namun secara Istilah, “al-Sharf adalah bentuk jual beli naqdain baik sejenis maupun tidak, yaitu jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, atau emas dengan perak dan baik telah berbentuk perhiasan maupun mata uang”. Lihat: Wahbah Al-Zuhaili (Terjemahan Abdul Hayyie Al-Kattani), Fiqih Islam Wa Adillatuhu, Jilid 5, hal: 279.
Dari sini dapat kita pahami bahwa al-Sharf merupakan jual beli mata uang yang nilai tukarnya harus sepadan baik itu sesama mata uang lokal maupun mata uang asing. Al-Sharf juga dianggap jual beli barang ribawi, pendapat tersebut berdasarkan pada pendapat Abdurrahman al-Jaziry, bahwa :
“Jumhur ulama berdapat wajib zakat pada uang kestas, karena uang kertas menggantikan posisi emas dan perak sebagai alat tukar dan mudah untuk ditukarkan dengan perak. Sangat tidak masuk akal bahwa pada manusia ada sekumpulan harta berbentuk kertas yang bisa ditukar dengan nishab zakat perak dan mereka tidak mengeluarkan zakatnya. Karena itulah para fuqaha tiga mazhab sepakat tentang kewajiban zakatnya. Hanya ulama mazhab Hanbali saja yang tidak sepakat.” Lihat: Abdurrahman Al-Jaziry, Al-Fiqhu ‘ala al-Madzâhib al-Arba’ah, Beirut: Daru al-Kutub al-Islamiyah, 1990 : Jilid 1, hal.549.
Dilansir dari nu.or.id tentang Apakah jual beli valas itu termasuk riba? menyatakan bahwa konteks yang diusungkan Abdurrahman Al-Jaziry muncul pada saat uang masih memiliki jaminan emas (underlying gold) padahal mata uang pada zaman ini tidak bisa lagi dikatakan barang ribawi. Uang modern memiliki definisi sebagai komoditas, dalam artian uang adalah barang niaga yang bisa diperjual belikan. Hal tersebut menyamakan kedudukan uang sebagai kertas berharga yang memiliki nilai tukar. Dengan demikian pendapat Abdurrahman Al-Jaziry hanya berlaku pada masa uang belum menjadi seperti sekarang.
Jadi, apakah jual beli valas dalam Islam diperbolehkan? Agama Islam memperbolehkan jual beli, hal ini mendasar pada Al-Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 275 :
…وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ …٢٧٥ ( البقرة/2: 275)
…dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba… (Al-Baqarah/2:275).
Atas dasar tersebut maka jual beli hukumnya boleh, namun apakah jual beli al-Sharf termasuk jual beli yang diperbolehkan? Merujuk pada Hadits Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, Nabi saw. besabda :
لاَ تَبِيْعُوا اَلذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلاَّ مِثْلً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْدٍ، وَلاَ تَبِيْعُوا الْوَرِقَ بِالْوَرِقِ الاَّ مِثْلًا بِمِثْلٍ وَلَا تُشِفُّوا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ، وَلاَ تَبِيْعُوا مِنْهَا غَائِبًا بِنَاجِرٍ.
“Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan bagian atas sebagian lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”
Redaksi hadits ini menyatakan bahwa jual beli al-Sharf boleh dilakukan asalkan mengikuti aturan yang sudah ditetapkan oleh syariat, dimana transaksi harus dilakukan dengan nilai tukar yang sepadan dan dilakukan dengan tunai. Di Indonesia sendiri al-Sharf juga punya landasan hukum sendiri loh sobat, yakni Fatwa DSN-MUI No.28/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Mata Uang (al-Sharf). Dalam fatwanya tersebut menegaskan empat prinsip yang harus dipatuhi dalam transaksi jual beli al-Sharf, diantaranya :
- Tidak untuk mencari spekulasi (untung-untungan).
- Ada kebutuhan transaksi atau untuk berjaga-jaga (simpanan).
- Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
- Apabila berlainan jenis maka harus dilakukan dengan nilai tukar yang berlaku pada saat transaksi dilakukan dan secara tunai.
Tidak hanya itu, fatwa DSN MUI juga menjelaskan terkait transaksi al-Sharf, yakni :
- Transaksi Spot, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas untuk penyerahan pada saat itu (over the counter) atau penyelesaiannya paling lambat dalam jangka waktu dua hari.
- Transaksi Forward, yaitu transaksi pembelian dan penjualan valas yang nilainya ditetapkan pada saat sekarang dan diberlakukan untuk waktu yang akan datang, antara 2 x 24 jam sampai dengan satu tahun.
- Transaksi Swap, yaitu suatu kontrak pembelian atau penjualan valas dengan harga spotyang dikombinasikan dengan pembelian antara penjualan valas yang sama dengan harga forward.
- Transaksi Option, yaitu kontrak untuk memperoleh hak dalam rangka membeli atau hak untuk menjual yang tidak harus dilakukan atas sejumlah unit valas pada harga dan jangka waktu atau tanggal akhir tertentu.
Dari empat penjabaran di atas, jenis transaksi yang dibolehkan dalam jual beli al-Sharf adalah transaksi spot. Selebihnya diharamkan karena mengandung unsur spekulasi dan melanggar ketentuan syariat. Wah… ternyata ribet juga ya? Lalu bagaimana mekanisme transaksi al-Sharf yang sesuai dengan syariat? Sobat Hala Ugama tidak perlu khawatir, karena mekanisme transaksi al-Sharf juga sudah diatur di setiap perbankan khususnya perbankan syariah dengan skema sebagai berikut :
- Melakukan pertukaran valas haruslah bebas dari riba.
- Melakukan pertukaran valas haruslah dilakukan secara tunai.
- Nilai tukar pada pertukaran valas haruslah seimbang dan mengikuti nilai tukar yang berlaku pada saat transaksi.
- Melakukan pertukaran valas tidak untuk mencari keuntungan melainkan hanya sekedar kebutuhan yang dikarenakan keadaan.
Selain daripada itu, untuk mengurangi risiko terjadinya ketidakpastian nilai tukar, DSN MUI sudah mengeluarkan fatwa terkait hal tersebut. Fatwa DSN MUI No. 96/DSN-MUI/IV/2015 tentang Transaksi Lindungi Nilai Syariah. Fatwa inilah yang nantinya akan melindungi sekaligus meminimalisir akan adanya risiko akibat ketidakpastian pergerakan nilai tukar.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa al-Sharf dalam Islam itu diperbolehkan asal mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan oleh syariat. Kita tidak bisa lagi menyamakan makna uang saat ini sebagai barang ribawi layaknya pada zaman dahulu. Uang saat ini merupakan surat berharga yang dapat diperjual belikan.
Penulis : Rifan Setyawan
Mahasiswa Program Studi Akuntansi Syariah
STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau
Mantap