Oleh : Dr Muhammad Faisal, M.Ag
Ketua STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau
Hari ini raya Idul Adha merupakan hari yang mulia yang diberikan Allah kepada umat Nabi Muhammad SAW. Hari yang didalamnya terkandung berbagai macam hikmah dan keteladanan. Paling tidak, ada 2 hal yang sudah menjadi bagian penting dalam setiap perayaan Idul Adha ini, yaitu rangkaian pelaksanaan ibadah haji dan penyembelihan hewan kurban. Bagaimanakah konteks keduanya ini dalam Idul Adha tahun ini serta hikmah apa saja yang bisa kita ambil sehingga menjadi motivasi kita dalam beribadah, motivasi kita dalam mengarungi bahtera kehidupan, serta harapan kita bersama menuju kebahagiaan dan keselamatan hidup kita dunia dan akhirat kelak ?
Ibadah haji merupakan rukun Islam yang kelima. Dalam Islam, Ibadah haji pertama kali disyariatkan pada tahun ke-6 Hijriah, sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 96-97 :
Menurut Syeikh Nawawi al-Bantani dalam Kitabnya Kasyifatus Saja’, Ibadah haji tergolong ibadah fisik, karena memerlukan istitho’ah atau kemampuan, baik dari segi biaya, fisik, kesehatan, keamanan serta ketentuan lain yang berlaku dalam pelaksanaannya. Dalam perspektif sejarah disyariatkannya ibadah haji ini sangat berhubungan dengan Nabi Ibrahim, Siti Hajar dan putranya Ismail.
Diantaranya, dengan ibadah haji kita bisa mengetahui secara langsung, bagaimana perjuangan Nabi Ibrahim dalam mendirikan dan menjaga Baitullah, ketika itu banyak yang mengolok-olokkannya, namun niat dan keyakinan yang sudah bulat harus diwujudkannya sehingga justeru itu pada akhirnya menjadi arah utama peribadatan Islam dimana seluruh umat manusia berkumpul disana.
Bagaimana perjuangan Siti Hajar dengan sekuat tenaga di tengah panas yang mencekik dan keringat yang menetes deras tiada henti di tengah padang pasir yang tandus harus berlari-lari kecil dari bukit safa dan bukit marwa untuk mencari air, demi menjaga dan membesarkan anaknya Ismail, sebagai amanah yang didapatkannya langsung dari suaminya Nabi Ibrahim. Pikiran rasional mana ketika itu dipadang pasir yang gersang yang sudah dilalui oleh kabilah-kabilah Arab tanpa ada tanda-tanda air yang terpancar. Namun dengan keyakinan Siti Hajar kepada Allah SWT dan tanggung jawab menjaga amanah dari suaminya, maka dengan kuasa Allah SWT akhirnya perjuangan itu membuahkan hasil dan terpancarlah air zam zam di bekas tapak kaki Ismail yang menjadi kesuburan tanah Mekkah. Bahkan hari ini, bukan saja air zam-zam yang mengalir, padang pasir yang tandus itupun minyak mengalir dengan deras sehingga menjadi kekuatan penopang negeri itu.
Begitu pentingnya memahami konsep keyakinan dan perjuangan dengan penuh keikhlasan kepada Allah SWT sebagaimana ditunjukkan oleh keluarga Kenabian ini, maka ibadah haji ini menjadi bagian dari syari’at Islam. Ketika seruan ini datang, maka berbondong-bondonglah umat Islam dari seluruh penjuru dunia menuju ke tanah suci ini. Keyakinan dalam ibadah yang terjaga ini akan menjadi kekuatan umat Islam, karena bukan saja membangkitkan semangat dan motivasi beribadah, tetapi lebih dari itu ibadah ini memberikan dampak ekonomi dan sosial budaya yang sangat besar didalamnya.
Sehingga Ibadah haji mengajarkan kepada kita bagaimana kekuatan keyakinan kepada Allah harus diringi dengan usaha dan upaya yang setimpal dan sebanding. Ini merupakan gambaran yang sangat jelas bagi kita, bahwa ketika niat dan keyakinan sudah terpatri, maka mewujudkankannya adalah dengan kerja keras dan penuh perhitungan sesuai kondisi dan alam manusia. Keluarga Nabi Ibrahim menjadi symbol keteladanan dan pengajaran bagi kita bahwa ketika niat sudah diucapkan, ketika komitmen sudah diungkapkan, ketika pakta integritas sudah ditandatangani, ini semua harus dibuktikan dengan usaha dan kerja keras, kerja ikhlas serta evaluasi menyeluruh untuk mendapatkan hasil yang terbaik.
Seperti pelaksanaan ibadah haji tahun ini, sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, Karena Menteri Agama Republik Indonesia, H.Yaqut Cholil Qoumas (Gus Men) sebagai Amirul Haj mengawal setiap rangkaian dengan tepat, detail dan tuntas. Hal tersebut dilakukan sebagai bentuk pelayanan totalitas kepada jamaah haji Indonesia.
Dari mulai persiapan, pelayanan khusus terutama kepada kepada jamaah Haji lansia yang sangat luar biasa sehingga muncul program Haji Ramah Lansia, sampai kepada proses dan rangkaian pelaksanaan Haji. Seperti dikutip dari laman detik.com bahwa Menteri Agama mengecek secara langsung kondisi jamaah haji yakni ketika berada di tenda Arafah maupun saat mabit di Mina. Gus Men menuju tenda Mina untuk mengecek kondisi jamaah haji Indonesia saat terlambat dievakuasi dari Muzdalifah. Namun pada jam 22:00 makan malam jamaah haji Indonesia belum tuntas pendistribusiannya di Mina dan Gus Men meminta agar konsumsi segera didistribusikan kepada Jamaah. Sebagai bentuk protes beliau terhadap sejumlah layanan Mashariq Arab Saudi, beliau menegaskan bahwa tidak akan makan malam sebelum seluruh Jamaah sudah makan.
Komitmen ini sangat diperlukan, bagaimana melayani tamu-tamu Allah ini harus diberikan dengan sepenuh hati, apabila kita sudah siap menjadi petugas haji, maka pilihannya hanya satu, yaitu melayani umat dengan sepenuh hati. Ini menjadi suri tauladan yang harus dicontoh.
Bagi kita di tanah air, yang belum berkesempatan menunaikan ibadah haji tahun ini, maka kita bisa berkurban. Qurban berasal dari bahasa Arab: Qurban yang berarti dekat. Kurban dalam islam juga disebut dengan al-udhiyyah dan ad-dhahiyyah yang berarti binatang sembelihan, seperti unta, sapi, kerbau, kambing, biri-biri yang disembelih pada hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyri’ sebagai bentuk taqarrub atau mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ibadah kurban atau penyembelihan hewan ternak hukumnya sunnah muakkad atau sunnah yang dianjurkan. Disyariatkannya kurban ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Kautsar :
Dalam Tafsir Jalalain, sebuah kitab tafsir karya Imam Jalaluddin as-Sayuti dan Imam Jalaluddin al-Mahalli, disebutkan surat al-kautsar yang menjadi dasar bagi dalil disyari’atkannya kurban, bahwa Allah SWT telah memberikan kepada Nabi Muhammad SAW dan umatnya nikmat yang sedemikian banyak. Diantaranya, Allah memberikan al-Kautsar, yaitu berupa sungai (telaga) milik Nabi Muhammad SAW di surga yang kelak akan menjadi sumber air minum bagi umatnya kelak. Al-Kautsar juga berarti kebaikan yang banyak pada umatnya dan seluruh alam, yaitu berupa kenabian Rasulullah, al-Qur’an, Syafa’at dan keistimewaan lain.
Sehingga banyaknya nikmat tersebut, Allah meminta umat Rasulullah untuk mensyukurinya dalam 2 hal, yaitu : dimensi vertikal dengan cara mendirikan sholat, dan dimensi horizontal dengan cara berkurban karena Allah untuk menumbuhkan keshalehan sosial sesama manusia.
Secara historis, perintah berkurban ini sebenarnya telah diawali oleh putra Nabi Adam AS, yaitu Habil dan Qobil, sebagaimana dalam surat al-Maidah ayat 27. Dengan demikian, kurban, sebenarnya perintah yang sudah sangat dekat dalam kehidupan umat manusia.
Perintah berkurban pada umat Nabi Muhammad SAW, berangkat pada peristiwa Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail. Sebagaimana firman Allah dalam surat As-Saffat ayat 102 :
Dari beberapa ayat diatas, dapat kita lihat bahwa:
Pertama, kurban sebagai bentuk harapan hamba untuk dekat kepada Allah dan ketundukannya bermuara kepada ketaqwaan. Secara syari’at adalah menyembelih hewan kurban itu, dan secara hakekatnya bahwa Kedekatan manusia kepada Allah itu hanya mungkin tumbuh jika manusia menyembelih sifat-sifat kebinatangan yang ada dalam dirinya, sifat egois, sifat mau menang sendiri, sifat sombong, sifat propokator, sifat suka menyalahkan orang lain dan mencari-cari kesalahan orang lain dan lain sebagainya.
Kedua, kurban sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan Allah, ini terlihat dari hewan kurban yang mampu dikurbankan serta daging yang dibagikan kepada fakir miskin. Bahwa rezeki manusia sudah diatur oleh Allah SWT, tinggal kemauan yang harus ditumbuhkan. Apabila kita tidak bisa kurban tahun ini, bisa tahun depan, atau bisa juga dengan menabung sehingga cukup masanya untuk berkurban. Syari’at memberikan batas untuk berkurban yang disebut hari tasyri’ sekitar 3 hari. Ini menunjukkan bahwa dalam syari’at sekalipun, ada waktu, ada pilihan, ada masanya manusia diberi kesempatan untuk berpikir sehingga tumbuh kemauan dalam hatinya untuk melaksanakan kurban tersebut. Boleh jadi pada awalnya kemauan tersebut belum ada walau rezeki yang dimiliki sudah cukup, dengan melihat hewan yang dikurbankan, akan menumbuhkan kemauan tersebut menuju ketaqwaan. Kurban untuk membangun karakter pribadi manusia. Apakah kita mau menjadi seorang yang bersyukur atas rezeki dan selalu berbagi kepada sesama, atau menjadi orang yang pelit dan lupa terhadap sesama.
Disini kita lihat ada 2 perbedaan, antara perintah haji dan perintah kurban, perintah haji pada mereka yang memiliki kemampuan (istitho’ah), maka perintah berkurban bagi mereka yang memiliki kemauan (takwa).
Ketiga, kurban sebagai wujud rasa kasih sayang orang tua kepada anaknya. Bahwa apa yang terjadi ketika Nabi Ibrahim menunaikan nazarnya mau menyembelih putranya Ismail, dan Ismail dengan ikhlas dan sadar menerima putusan itu, akhirnya kasih sayang itu berbuah manis dengan digantinya Ismail dengan seekor kibas.
Pada kondisi normal kita hari ini, antara Nabi Ibrahim dan Ismail, yang dipahami bukan wujud fisik penyembelihan itu, tetapi konsep kasih sayang dan pengorbanan tersebut. Orang tua harus bertanggung jawab sekuat tenaga berusaha mendidik anaknya, memberikan pendidikan terbaik walau semampunya, memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya. Si anak dilatih untuk memahami arti pengorbanan orang tua kepadanya, bagaimana dia bisa sekolah, bagaimana dia bisa jadi pintar, cerdas dan berhasill dalam kerjanya, sehingga menjadi orang yang disegani dan bisa menjadi kebanggaan keluarga. Dengan kondisi ini semua tidak menjadikan si anak lupa diri, lupa keluarga, lupa orang tua namun tetap berbakti kepada kedua orang tuanya.
Bahkan dalam perspektif yang lebih luas lagi, bagaimana ibadah kurban menyadarkan kita, ketika tugas, tanggung jawab dan perintah yang telah diterima, harus dilaksanakan dengan sepenuh hati. Apapun kendala, rintangan dan hambatan yang ada, dengan komitmen dan manajemen yang cerdas, akan dapat diatasi dengan cepat dan tuntas. Semangat berkurban untuk orang lain, untuk mereka yang telah lanjut usia, untuk mereka yang sakit, untuk mereka yang dengan semangat luar biasa dan sudah menunggu untuk waktu yang sangat lama agar bias berangkat ke tanah sucui ini, untuk mereka yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di tanah yang mulia, Mekkah dan madinah, itu semua merupakan pengorbanan yang akan dibalas langsung oleh Allah SWT, seperti apa yang telah dilakukan oleh Menteri Agama, dan jajarannya dalam pelaksanaan ibadah haji tahun ini.
Melalui ibdah haji, ibadah Kurban ini kita bisa memahami konteks Idul Adha tahun ini serta mengambil hikmah dari kehidupan keluarga Kenabian ini dalam usahanya untuk membuktikan jiwa dan raganya dalam melaksanakan perintah Allah sehingga menjadi motivasi kita dalam beribadah, motivasi kita dalam mengarungi bahtera kehidupan, serta harapan kita bersama menuju kebahagiaan dan keselamatan hidup kita dunia dan akhirat kelak.
Wallalu a’lam bisshawab