Sebuah Kenangan Indah di Istanbul
Tiba-tiba aku ingat. Tahun 2014 akhir bulan agustus, aku hadir sebagai pembicara dalam seminar terbatas di sebuah tempat di tepi laut Marmara, Istanbul, Turki. Tempat itu tak jauh dari Museum Aya Sofia dan Masjid Biru. Tiap hari aku ke sana dengan jalan kaki menyusuri jalan dan gang-gang menuju Hagia Sophia yang klasik, megah dan indah itu.
Tema seminar itu : “Blaspemy dan Apostasi”. Aku hadir bersama sejumlah pakar terkemuka dari sejumlah negara. Antara lain Prof. Dr. M. Khalid Mas’ud (Pakistan), Prof. Jasir Audah (Mesir), Prof. Ziba Mir Hoseini (Iran), Prof. Dr. Lena Larsen (Norwegia), Prof. Dr. Kecia Ali (Amerika), Prof. Dr. dari Mesir (aku lupa namanya) dan lain-lain yang aku lupa juga, serta Prof. Dr. Noorhaidi Hasan, dari UIN Yogya. Semua bicara dalam bahasa Inggris, kecuali aku. Aku bicara dalam bahasa Indonesia yang diterjemahkan oleh Miki Salman.
Perbincangan mengenainya sangat menarik dan kaya. Para pakar itu setuju : Islam menolak keras “blaspemy” (penistaan, penghinaan dan caci-maki) terhadap kesucian agama, simbol-simbol, tokoh-tokoh agama dan lain-lain sejenis. Aku dan Prof. Jasir Audah berdialog hangat dan sepakat menyampaikan “al-Kulliyyat al-Sittah” (6 prinsip perlindungan hak asasi manusia) : Hifzh al Nafs (hak hidup), Hifzh al Aql (hak berpikir), Hifzh al Din (hak berkeyakinan), Hifzh Irdh (hak atas kehormatan diri), Hifzh al-Nasl (hak reproduksi) dan Hifz al Maal (hak milik property).
Usai acara aku bersama mahasiswa Indonesia yang tengah belajar di negeri Bizantium itu jalan-jalan menyusuri Taksim Square, dan ke museum penulis novel terkenal dunia sekaligus pemenang nobel Sastra, Orhan Pamuk. Lalu malamnya aku menghadiri ritual Tarekat Mawlawi sekaligus tarian Sema, yang sangat terkenal itu, di sebuah masjid di pojok kota. Aku menikmati keindahan suara-suara Ney yang melankoli, bagai suara kerinduan kepada kekasih yang hilang entah ke mana.
Hari berikutnya aku menuju Konya untuk ziarah ke Maulana Rumi, Syamsi Tabrizi, guru spiritual Rumi dan Shadruddin al-Qunawi, anak tiri Ibnu Arabi. diberi hadiah teman mahasiswa, dua buku karya Maulana Rumi : “Al-Matsnawi” (6 jilid mungil) dan “Qawa’id al-Isyq al-Arba’un”, sebuah novel karya Syafiq Elif.
Dan aku terpukau saat membaca kaedah cinta yang ke empat puluh.
القاعدة الأربعون:
لَا قِيمَةَ لِلْحَيَاةِ مَنْ دُونِ عِشْقٍ. لَا تَسْأَلْ نَفْسَكَ مَا نَوْعُ العِشْقِ الَّذِي تُريدُه، رُوحِيٌ أَمْ مَادِّيٌ، إِلهِيٌ أَمْ دُنْيَوِي، غَرْبِيٌ أَمْ شَرْقِيٌ. فَالإِنْقِسَامَاتُ لَا تُؤَدِّي إِلَّا إِلَى مَزِيدٍ مِنَ الِإنْقِسَامَاتِ. لَيْسَ لِلْعِشْقِ تَسْمِيَّاتٌ وَلَا عَلَامَاتٌ وَلَا تَعَارِيفُ. إِنَّهُ كَمَا هُوَ، نَقِىٌّ وَبَسِيطٌ. “العِشْقُ مَاءُ الحَيَاةِ وَالعَشِيقُ هُو رُوحٌ مِنَ النَّار”، يُصْبِح الْكَونُ مُخْتَلِفاً عِنْدَمَا تَعْشِقُ النَّارُ المَاءَ.
“Hidup tanpa cinta tidaklah bermakna. Tak usah kau tanya cinta macam apa yang kau cari, spiritual atau material, ilahi atau duniawi, timur atau barat. Pembagian-pembagian itu hanya akan berujung pada lebih banyak lagi pembagian. Cinta itu tak bernama, tak bersimbol dan tak terdefinisi. Cinta adalah cinta yang apa adanya, murni dan bersahaja. Cinta adalah air kehidupan. Dan seorang kekasih adalah jiwanya api. Semesta akan berputar ke arah berbeda manakala api mencintai air.
Oleh: Husein Muhammad