Kaidah Al ‘Adatu Muhakkamah: Adat Kebiasaan Ditetapkan sebagai Hukum

Views: 834

Kaidah Al ‘Adatu Muhakkamah memiliki arti bahwa disuatu keadaan, adat dapat dijadikan pijakan untuk menentukan hukum ketika tidak ditemukan dalil syar’i. Namun, tidak semua adat dapat dijadikan pijakan hukum. Pada dasarnya atau asal mula kaidah ini ada, diambil dari realita sosial kemasyarakatan bahwa semua cara hidup dan kehidupan itu dibentuk oleh nilai-nilai yang diyakini sebagai norma yang sudah berjalan sejak lama sehingga mereka memiliki pola hidup dan kehidupan sendiri secara khusus berdasarkan nilai-nilai yang sudah dihayati bersama. Adapun dasar hukum kaidah ini di dalam Al-Qur’an salah satunya ialah QS. surah al-Baqarah ayat 228:

وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِيْ عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوْفِۖ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللّٰهُ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ

Artinya: “dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan                                                                kewajibanya menurut cara yang ma’ruf. Akan etapi para suami mempunyai suatu tingkatan kelebihan dari pada istrinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

 

Sedangkan dasar hukum berdasarkan hadis ialah hadis Rasulullah SAW. yang di riwayatkan dari Imam Bukhari ra. Yang artinya: “Ambilah secukupnya untuk kamu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf (kebiasaan yang baik).

 

Kemudian ada juga hadis riwayat al-Hakim dari Abdullah ra. yang artinya:“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka baik pula disisi Allah. Apa yang dipandang tidak baik oleh kaum muslimin, maka tidak baik pula disisi Allah”.

 

Dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat yaitu segala apa yang telah dikenal manusia, maka hal itu jadi suatu kebiasaan yang berlaku dalam kehidupan mereka baik berupa perkataan ataupun perbuatan.‘Urf yaitu apa yang dikenal oleh manusia dan berlaku padanya, baik berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan sesuatu.

Menurut Sebagian ulama ‘Urf dan Adat tidak memiliki perbedaan, namun sebagian ulama menyatakan antara ‘Urf dan Adat memiliki perbedaan. Menurut Al-Jurjani mendefinisikan  antara adat dan ‘urf. Sesuatu yang disebut ‘urf  bukan semata karena dapat diterima tabiat, tetapi juga harus sejalan dengan akal manusia. Sementara sesuatu yang disebut adat bukan semata-mata sejalan dengan akal sehat, tetapi juga telah dipraktikkan manusia secara terus menerus sehingga menjadi tradisi di kalangan mereka. Menurut Khalid bin Ibrahim dalam kitabnya Syarah Manzhumah Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah membedakan bahwa ‘adat’ lebih umum dari ‘urf’. Adat lebih umum dan berlaku selamanya, sedangkan ‘urf berlaku lebih khusus dan terbatas. Adat berlaku secara umum, sedangka ‘urf  khusus kepada suatu daerah.

Secara umum pembagian adat itu sendiri terbagi menjadi dua yaitu: adat shahih dan adat fasid. Adat shahih adalah adat yang tidak bertentangan dengan hukum syariat. Adat yang seperti ini harus dipelihara, terutama dalam menetapkan terhadap suatu hukum, atau ketika mempertimbangkan suatu keputusan dalam pengadilan. Karena adat yang sudah berlaku di tengah-tengah masyarakat, merupakan tuntutan yang sesuai dengan kemaslahatan mereka, misalnya mengadakan pertunangan sebelum melakukan pernikahan. Adat fasid yaitu adat yang berlaku dalam suatu sosial masyarakat yang senantiasa bertentangan dengan ajaran syariat, misalnya kebiasaan mengadakan sesajen untuk sebuah patung atau suatu tempat yang dipandang mulia, karena betenangan dengan kaidah tauhid.

Adat dipandang dari segi sifatnya, dibagi kepada dua bagian  yaitu adat qauli dan adat amali. Adat qauli merupakan istilah bahasa arab yang merujuk pada praktik atau kebiasaan yang didasarkan pada penggunaan kata-kata atau ucapan. Misalnya panggilan “walad” untuk anak laki-laki bukan anak perempuan. Adat amali adalah  adat berupa perbuatan  misalnya kebiasaan jual beli dalam masyarakat tanpa mengucapkan sighat akad yang lengkap dalam jual beli, tetapi karena telah menjadi kebiasaan dalam masyarakat tanpa akad jual beli dan tidak terjadi kekacauan, maka syarak membolehkanya. Adat apabila dipandang dari segi ruang lingkupnya, maka dibagi lagi menjadi dua, yaitu adat ‘aam dan adat khas. Adat ‘aam adalah  adat yang berlaku pada semua tempat, masa dan keadaan. Misalnya memberi hadiah kepada orang yang telah jasanya kepada seseoorang. Begitu pula mengucapkan terima kasih kepada orang yang telah membantu. Adat khas adalah adat yang hanya berlaku pada tempat, masa, dan atau keadaan tertentu saja. Misalnya mengadakan “halal bi halal” yang biasanya dilakukan oleh orang (masyarakat) Indonesia bagi yang beragama islam pada setiap pusa ramadhan dan berlebaran. Sedangkan di negara lain tidak merupakan kebiasaan.

 

Pembagian kaidah Al-‘Aamali Muhakamah yaitu:

1.اِ نمَا تُعْتَبَرُ العَادَةُ اذا اضْطَرَ دَتْ اَوْ غَلِبَتْ

“Adat yang dianggap (sebagai pertimbangan hukum) ituhanyalah adat yang terus menerus berlaku atau berlaku umum”.

Contoh kaidah ini adalah:

Seseorang yang berlangganan surat kabar atau koran. Sudah menjadi kebiasaan kalau surat kabar atau koran diantar ke rumah pelanggan. Untuk itu, apabila berlaku akad langganan meskipun tidak menyebutkan pengiriman, secara otomatis surat kabar atau majalah tersebut diantarkan. Jika tidak diantar, maka pelanggan berhak komplain atau pengaduan.

  1. 2. التَعْيِيْنُ بِالْعُرْفِ كَالتَعْيِيْنِ بِالنَصِ

“ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”

Contoh aplikasi kaidah ini adalah sebagai berikut:

Adat atau kebiasaan dalam penggunaan barang sewa. Semisal orang menyewa mobil, maka keluarga, saudara, teman, atau siapapun boleh ikut menaikinya karena sudah menjadi kebiasaan setelah mobil itu di sewa sudah menjadi hak penuh bagi penyewa dalam penggunaannya.

  1. اِسْتِعْمَالُ الِنَاسِ حُجَةٌ يَجِبُ العَمَلُ بِهَا

“Apa yang biasa diperbuat orang banyak adalah hujjah yang wajib diamalkan”.

Maksud kaidah ini adalah segala apa yang menjadi adat kebiasaan di masyarakat, menjadi pegangan dan pedoman, dalam arti setiap anggota masyarakat harus menaatinya.

Contoh kaidah ini adalah:

Membuat pakaian ke tukang jahit. Mulai benang, jarum, dan menjahitnya ini sudah menjadi kebiasaan bahwa yang menyediakan adalah tukang jahit.

  1. العادةُ الْمُطَرَدةُ في نَاحِيَةٍ لا تَنْزِلُ مَنْزِ لَةَ الشْرطِ

“Kebiasaan atau adat yang berlaku terus menerus dalam suatu daerah, Apakah adat kebiasaan mereka berada pada kedudukan syarat? Hal ini ada beberapa keadaan.” Contoh kaidah ini adalah: menggunakan barang orang lain tanpa akad. Dalam kebiasaan yang berlaku bahwa dalam penggunaannya terdapat upah yang harus dibayarkan kepada pemilik barang. Oleh karena itu sudah menjadi kebiasaan di masyarakat maka pengguna wajib membayarnya.

 

Contoh dalam muamalah yaitu:

Tradisi marosok dalam jual beli ternak.Tradisi marosok adalah tradisi jual beli ternak yang dilakukan oleh masyarakat di Minangkabau. Dalam tradisi ini, kedua belah pihak yang akan melakukan transaksi saling bersalaman sambil memberikan simbol-simbol yang berartikan nominal dari harga ternak yang akan dibeli. Tradisi marosok ini telah menjadi kebiasaan masyarakat Minangkabau selama berabad-abad. Tradisi ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, karena tidak ada unsur riba atau penipuan di dalamnya.

Transaksi jual beli online. Transaksi jual beli online menjadi hal yang lumrah dalam masyarakat modern. Dalam transaksi jual beli online, kedua belah pihak yang akan melakukan transaksi tidak bertemu secara langsung. Transaksi dilakukan melalui platform online, seperti e-commerce atau media sosial. Transaksi jual beli online ini tidak bertentangan dengan syariat Islam, selama memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat, seperti adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, adanya barang yang diperjualbelikan, dan adanya harga yang disepakati.

 

Oleh: Ria Dini Ariani & Septiana Anes Finanda

Mahasiswa Prodi Akuntansi Syariah STAIN Sultan Abdurrahman Kepri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *