Haii sahabat Hala-Ugama! Era modern merupakan era dengan tuntutan pemenuhan kebutuhan yang semakin cepat. Jauh sebelum ada produk pinjaman online, sudah terlebih dahulu diperkenalkan berbagai produk e-money berbasis kartu. Ada kartu Anjungan Tunai Mandiri (ATM), Kartu Kredit (bithaqah li al-i’timan) dan berbagai macam kartu lainnya. Masing-masing kartu menawarkan kemudahan dan keunggulan. Nah, kali ini kita akan membahas seputar kartu kredit.
Secara terminologi, kartu kredit adalah kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang. Berdasarkan Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) Nomor 54/DSN- MUI/X/2006, Syariah Card adalah kartu yang berfungsi seperti kartu kredit yang hubungan hukum (berdasarkan sistem yang sudah ada) antara para pihak yaitu pihak penerbit kartu (mushdir al-bithaqah), pemegang kartu (hamil al-bithaqah) dan penerima kartu (merchant, tajir, atau qabil al-bithaqah) berdasarkan prinsip syariah sebagaimana diatur dalam fatwa tersebut.
Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi kartu kredit hanya menggunakan satu akad saja, sebagian yang lain mengatakan melibat enam akad, yaitu kafalah,wakalah, hawalah, murabahah, qardh dan ijarah. Pihak Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) berpendapat bahwa status hukum kartu kredit adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini sebagai issuer yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi card holders dalam berbagai transaksi. Dengan demikian, menurut DSN – MUI ada tiga akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit yaitu: kafalah, qardh dan ijarah.
Pihak DSN – MUI menyebutkan bahwa para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ yang didasari pada firman Allah:
وَلِمَن جَآءَ بِهِۦ حِمۡلُ بَعِيرٖ وَأَنَا۠ بِهِۦ زَعِيمٞ
Artinya:
“dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS.Yusuf:72)
Kata “za’im” di penghujung ayat tersebut menurut Ibnu Abbas adalah “kafil” sebagaimana sabda Nabi SAW.: “az-Za’im Gharim” artinya: orang yang menjamin berarti berutang (sebab jaminan tersebut). (HR. Abu Dawud Turmudzi, Ibnu Hibban).
Daud Bakar, seorang profesor di IIUM Malaysia, berpendapat bahwa kartu kredit tidak dikenal dalam Islam, karenanya istilah yang paling tepat digunakan adalah kartu debit. Pendapat Daud Bakar tersebut menyangsikan kesyari’ahan kartu kredit karena dilandasi pada analogi bahwa kartu kredit sama dengan menganjurkan orang untuk berutang. Padahal di dalam Islam, berutang merupakan salah satu hal yang tidak dianjurkan. Hal ini merujuk pada banyak hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari yang isinya adalah orang yang mempunyai utang selalu berkata bohong dan selalu tidak pernah menepati janjinya. Oleh karena itu Rasulullah SAW sendiri selalu berdoa agar dirinya selalu tidak dalam keadaan berutang. Walaupun demikian, Islam menganjurkan agar orang yang kesulitan dalam membayar utang harus diberikan keringanan dalam membayarnya, sebagaimana firman Allah:
وَإِن كَانَ ذُو عُسۡرَةٖ فَنَظِرَةٌ إِلَىٰ مَيۡسَرَةٖۚ وَأَن تَصَدَّقُواْ خَيۡرٞ لَّكُمۡ إِن كُنتُمۡ تَعۡلَمُونَ
Artinya:
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. al-Baqarah 280)
Jadi, apapun jenis aqad transaksi yang digunakan dalam kartu kredit syari’ah dan sejenisnya baik ijarah, qardh atau wadiah, secara substansi tetap menganjurkan orang untuk berutang. Hal inilah yang mendasari mengapa kartu kredit tidak mungkin dapat disyari’ah-kan. Akan tetapi, Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN –MUI) telah mengeluarkan fatwa tentang hukum kebolehan kartu kredit, yaitu fatwa No. 54/DSN-MUI/X/2006, tentang Syariah Card (Bithaqah I’timan/Credit Card). Pihak DSN-MUI beralasan bahwa secara prinsip kartu kredit tersebut dibolehkan syariah selama dalam praktiknya tidak bertransaksi dengan sistem riba yaitu memberlakukan ketentuan bunga bila pelunasan hutang kepada penjamin lewat jatuh tempo pembayaran atau menunggak. Akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit adalah kafalah, qardh, dan ijarah.
Walaupun demikian, ada batasan-batasan yang tidak boleh dilanggar oleh pengguna kartu kredit tersebut, yaitu:
- Tidak menimbulkan riba,
- Tidak digunakan untuk transaksi yang tidak sesuai dengan syariah,
- Tidak mendorong pengeluaran yang berlebihan (israf), dengan cara antara lain menetapkan pagu maksimal pembelanjaan,
- Pemegang kartu utama harus memiliki kemampuan finansial untuk melunasi pada waktunya,
- Tidak memberikan fasilitas yang bertentangan dengan syariah.
Dalam membuat ketentuan ini, pihak DSN – MUI merujuk kepada beberapa dalil di antaranya firman Allah SWT dalam:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ وَلَا تَقۡتُلُوٓاْ أَنفُسَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمۡ رَحِيمٗا
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. al-Nisa’ 29).
Selain itu, DSN – MUI juga merujuk kepada Hadits Nabi S.A.W. antara lain: “Perjanjian boleh dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perjanjian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram” (HR Tirmidzi).
Kemudian, “Tidak boleh membahayakan (merugikan) diri sendiri maupun orang lain” (HR. Ibnu Majah dan al-Daraquthni).
Selain kepada al-Qur’an dan al-Hadits, pihak DSN – MUI juga menggunakan beberapa kaidah fiqh sebagai dasar fatwa, antara lain:
- “Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”
- “Kesulitan dapat menarik kemudahan.”
- “Keperluan dapat menduduki posisi darurat.”
- “Sesuatu yang berlaku berdasarkan adat kebiasaan sama dengan sesuatu yang berlaku berdasarkan syara’ (selama tidak bertentangan dengan syariat).”
- “Menghindarkan kerusakan (kerugian) harus didahulukan (diprioritaskan) atas mendatangkan kemaslahatan.”
Selain itu, keputusan fatwa tersebut diambil setelah mempelajari pendapat fuqaha’ dan fatwa di dunia internasional antara lain Imam al-Dimyathi dalam kitab I’anah al-Thalibin, jilid III, hal. 77-78. Berikut adalah beberapa bank yang menerbitkan kartu kredit syariah:
- CIMB Niaga Syariah. CIMB Niaga Syariah memiliki produk kartu kredit syariah dengan nama CIMB Niaga Master Card Syariah Gold.
- Bank BSI. Bank Syariah Indonesia menerbitkan kartu kredit syariah dengan nama BSI Hasanah Card.
- Bank BNI. BNI Hasanah Card dengan menggandeng provider Master Card Internasional.
Oleh: Rama Maghfira
Program Studi Akuntansi Syariah
STAIN Sultan Abdurrahman Kepulauan Riau