Baru-baru ini produk fatwa yang dihasilkan oleh Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang berlangsung di Pesantren Bahrul Ulum Islamic Center , Sungai Liat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), 28-31 Mei 2024, menuai kontroversi. Hal tersebut menyedot perhatian masyarakat karena menggugat apa yang sudah menjadi tradisi dalam masyarakat agama, haramnya mengucapkan salam lintas agama dalam berbagai sambutan kegiatan. Larangan ini tentu saja mengagetkan banyak elemen masyarakat, apalagi dikeluarkan oleh Forum Komisi Fatwa tertinggi MUI. Hal ini tertuang dalam panduan hubungan antar umat beragama bagian Fikih Lintas Agama yang terdiri dari 5 poin. Poin pertama menyebutkan bahwa “penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama dengan alasan toleransi dan/atau moderasi beragama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan”. Hal ini dipertegas pada poin ketiga yang mengatakan “pengucapan salam yang berdimensi doa khusus agama lain oleh umat Islam hukumnya haram”.
Tentu saja, fatwa selalu menarik untuk dikaji dan ditelaah. Karena fatwa hadir untuk menawarkan posisi hukum dari masalah yang dibahas, fatwa hadir untuk menjawab sebuah ketidakpastian hukum. Meskipun sebuah produk fatwa ulama dalam sistem bernegara kita bisa menjadi acuan untuk pengambilan kebijakan, namun esensi sebuah produk fatwa, sifatnya tidak mengikat. Apalagi jika fatwa tersebut bersentuhan dengan praktik keberagamaan yang mengundang perhatian, kehebohan, bahkan kontroversial. Seperti, fatwa MUI tentang tidak bolehnya mengucapkan salam lintas agama. Akhirnya, saya ikut tergerak untuk menulis masalah ini sebagai sumbangsih dan perspektif akademisi dalam merespon isu yang menuai pro kontra di masyarakat.
Perspektif Moderasi dan Kemaslahatan
Salam lintas agama adalah kemanusiaan atau humanisme. Jika kita mau berpikir mundur selangkah, salam lintas agama justru membawa kemaslahatan umat dan menjaga kedamaian. Hal ini terbukti, praktik salam lintas agama yang dalam beberapa dekade ini dipraktikkan, justru berdampak kepada indeks kerukunan umat beragama yang terus meningkat setiap tahunnya. Salam sebagai wujud pesan kedamaian dan rahmatan lil ‘alamin harus dipertimbangkan dalam konteks kemaslahatan dan kebersamaan. Di tengah polemik ini, penting untuk melihat bahwa pandangan tersebut lahir dari niat yang baik: menjaga kemurnian ibadah dalam Islam dan sekaligus mempromosikan kedamaian serta kerukunan antar umat beragama. Tetapi, mengharamkan secara absolut pengucapan salam lintas agama mungkin dapat mempersempit ruang dialog dan toleransi yang sangat dibutuhkan dalam masyarakat yang beragam. Terlebih lagi, dalam khazanah Islam sendiri, beragam pandangan dalam melihat konteks salam lintas agama, mulai dari yang mengharamkan, membolehkan bahkan dalam kadar tertentu, demi kemaslahatan, dianjurkan.
Toleransi bukan hanya tentang menghormati keyakinan orang lain, tetapi juga tentang menemukan cara-cara praktis untuk hidup bersama dalam damai. Dalam konteks Indonesia yang majemuk, salam lintas agama dapat menjadi jembatan untuk meningkatkan pemahaman dan menghormati perbedaan. Pada akhirnya, moderasi dalam beragama adalah kunci untuk mencapai kedamaian. Menggunakan salam lintas agama tidak harus dilihat sebagai pelanggaran, tetapi sebagai bentuk adaptasi dan penerapan nilai-nilai Islam dalam konteks yang lebih luas dan beragam. Fatwa harusnya tidak hanya memerhatikan aspek teologis, tetapi juga mempertimbangkan realitas sosial dan kebutuhan untuk hidup berdampingan secara damai.
Perspektif Fikih
Muhammad al-Khadimi dalam kitabnya Bariqah Mahmudiyyah fi Syarh Thariqah Muhammadiyyah wa Syariat Nabawiyyah fi Sirah Ahmadiyyah, Juz 2 H. 51 menerangkan “yang demikian bukan dalam rangka mengagungkan, namun paradigma yang dibangun adalah mempertimbangkan unsur maslahat dan promosi keindahan Islam dalam berinteraksi. Namun hendaknya tidak mengkhususkan salam kepada kafir, hanya saja diniati untuk umum”.
Pandangan ini diperkuat dengan interpretasi dari redaksi Taj al-din al-Subki dalam kitabnya Al-asybah wa al-Nadzair ;
قد علم أن لبس زي الكفار وذكر كلمة الكفر من غير إكراه كفر. فلو اقتضت مصلحة المسلمين إلى ذلك واشتدت حاجتهم إلى من يفعله فالذي يظهر أنه يصير كالإكراه
“Sudah maklum bahwasanya memakai busana yang identik dengan non muslim dan mengucapkan kalimat yang menjurus kepada kekafiran tanpa adanya unsur paksaan dihukumi kafir. Namun jika ada maslahat gang menuntuk kaum muslimin untuk melakukan demikian, maka menurut qaul adzhar orang tersebut dihukumi sebagai orang yang dipaksa.
Ibnu al-Qayyim menampilkan satu pendapat yang menyokong konstruk argumentasi di atas, beliau menyatakan;
وَقَالَتْ طَائِفَةٌ: يَجُوزُ الِابْتِدَاءُ لِمَصْلَحَةٍ رَاجِحَةٍ مِنْ حَاجَةٍ تَكُونُ لَهُ إِلَيْهِ، أَوْ خَوْفٍ مِنْ أَذَاهُ، أَوْ لِقَرَابَةٍ بَيْنَهُمَا، أَوْ لِسَبَبٍ يَقْتَضِي ذَلِكَ، يُرْوَى ذَلِكَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ النَّخَعِيِّ، وعلقمة
“Diperbolehkan mengulurkan salam (kepada non muslim) jika ada maslahat yang atau kebutuhan yang penting, adanya rasa kekhawatiran untuk menyakiti orang, adanya hubungan kekerabatan di antaranya, atau adanya faktor yang menuntut demikian. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Nakha’i dan Alqamah. Lihat: Zad al-Ma’ad fi Hady Khair al-Ibad, Juz 2 Hal. 388.
Sebagai orang awam dari aspek penarikan sebuah hukum, penulis mempertanyakan di mana pertimbangan aspek “maqasid” dari produk fatwa tersebut. Gerakan moderasi beragama adalah spirit toleransi untuk semua, tidak hanya bersifat pasif tetapi aktif dalam memaksimalkan titik temu dan kebersamaan bukan menonjolkan perbedaan. Sayangnya, saat negara memberikan dukungan penuh terhadap program prioritas yang disahkan dalam RPJMN ini, ditambah lagi Masyarakat sudah penuh merasakan dampaknya, justru fatwa ini malah mengambil arah yang berbeda. Wallahu A’lam Bishawab
Oleh: Zulfa Hudiyani, M.A
Ketua Rumah Moderasi Beragama STAIN Kepri